Rabu, 23 Oktober 2013

PROFIL OSCAR REYNALDO

Pada kesempatan kali ini, kami ingin menginformasikan salah satu profil anak dalam Rumah Singgah, bagaimana kisah hidupnya dia..

Kehilangan jati diri, bagaikan kesunyian di antara riuhnya teman-teman yang berkumpul dan bersenda gurau. Pacar yang selalu menemani hanya makin meyakinkan saya, bahwa ada kekosongan di hati. Rokok dan minuman keras, tawuran dan pemberontakan, semua adalah hiburan yang terbaik untuk menjaga saya pada garis "baik" menurut asumsi saya sendiri.

 9 Oktober 1994, Oscar Reynaldo menyapa dunia dengan rengekan mungil penuh rasa syukur kepada Tuhan, yang telah menciptakan dan membiarkan saya hidup di bawah atap langit dan cakrawala nan indah. Awal kehidupan saya, di Surabaya. Kebahagiaan keluarga kami tidak bertahan lama. Papa yang saya kira mencintai saya dan keluarga, ternyata meninggalkan kami pada saat saya masih berusia 3 tahun. Sejak itu, mama yang selalu menjaga saya dan adik dengan tegar.

Seiring bertambah usia saya dan adik, semankin meningkat kebutuhan sehari-hari kami. Semua berjuang pada level perekonomian keluarga yang semakin menipis. Akhirnya saya meninggalkan bangku Sekolah Dasar kelas II dan mengikuti mama pindak ke Bali. Kemudian, saya meneruskan sekolah hingga lulus SD. Kesulitan biaya sekolah yang cukup tinggi, membuat saya pada akhirnya tidak bisa melanjutkan ke tingkat SMP.

Namun saat kami bertiga di Bali, mama berjuang keras memenuhi kebutuhan saya dan adik. Himpitan masalah semakin menjadi-jadi. Kami harus berpindah-pindah dari rumah kontrakan hingga kos-kosan, mengikuti mama yang selalu berpindah-pindah kerja. Tak hanya itu saja. Demi mengirit biaya, kadang mama harus menekan pola makan kami. Kadang kami harus makan nasi sisa yang sudah hampir membusuk, lalu dicampur minyak jelanta. Bahkan pernah kami tidak dapat menikmati apapun alias makan angin saja.

Mama yang begitu mencintai dan memikirkan kebahagiaan kami, menikahi seorang pria yang dianggapnya pantas menjadi papa bagi kami. Namun kami tetap tidak bisa menjadi lebih bahagia karenanya. Hati saya tidak bisa menerima keberadaan sosok pria lagi dalam keluarga kami.

 Menjadi seorang papa? Omong kosong saja! Pada akhirnya tetap dia akan meninggalkan mama dengan luka. Sama seperti yang dilakukan pria yang menanamkan benihnya dalam perut mama lalu meninggalkannya, dan menjadikan saya tanpa seorang papa.

Memang kami hidup bersama, iya, hidup bagaikan neraka! Api kebencian membara tiap kali melihat sosok pria ini muncul di rumah. Ditambah lagi saat melihat pria itu bertumbuh di kandungan mama. Lahirlah adik tiri kami. Pikiran saya berkecamuk, ingin rasanya kabur dari semuanya itu. Namun ketika kembali mengingat kasih sayang dan pengorbanan mama terhadap kami bersaudara. Saya mengurunkan niat tersebut.

 Tidak lama kemudian, satu-satunya mama yang saya cintai, harus meninggalkan kami untuk bekerja di Jakarta. Papa tiri meninggalkan kami di rumah salah satu tante di Bali. Itupun hanya setahun saja. Kemudian saya dan adik mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Surabaya. Kami sangat senang sekali.

Segera kami berangkat ke Surabaya menemui tante, yang begitu dermawan menyekolahkan kami.

Kebebasan yang saya dapatkan hanyalah sementara saja. Selama saya tinggal bersama tante di Surabaya, hanyalah ketika di sekolah saja, kebebasan itu saya peroleh. Sekembalinya di rumah, saya diperlakukan selayaknya bukan seorang keponakan.
Suatu hari saya melakukan sesuatu yang kurang berkenan di mata tante. Dimarahi saja, saya bisa terima. Tiba-tiba, tante mengambil helm dan mengayunkan menghantam kepala saya. Rasa sakit yang amat sangat saya rasakan. Tante dengan sinis meninggalkan saya yang masih berguling memegang kepala, dan helm yang telah retak di sebelah saya. Dia lupa kalau saya baru saja mengalami kecelakaan.   

Sejak saat itu saya semakin terpuruk, kekecewaan terhadap papa kandung yang meninggalkan saya, suami mama yang kedua, kini tante sendiri. Saya lampiaskan semuanya lewat pergaulan bebas, rokok, dan miras. Kebencian karena ketidakadilan Tuhan atas segala kehidupan hina yang saya alami, saya akan senang sekali meluapkan emosi dan berkelahi dengan seseorang. Terutama pornografi yang sangat mengikat. Hampir tiap hari kalau tidak lelah, jenuh, penat dan kesepian mulai menghinggapi benak saya, saya akan menikmati pornografi dan melakukan masturbasi. Jika tante memarahi, saya pasti langsung kabur. Entah berapa hari saya akan tidur di jalan, atau tidur bersama pengamen.

Pelarian yang saya lakukan selama ini, tetap saja akan menyisakan ruang isak tangis. "Saya membenciMU, Tuhan! Kenapa aku lahir di keluarga seperti ini? Semua tidak adil! Mana bisa saya tahan menghadapi semuanya ini. Saya masih muda! Masa depan saya masih jauh! Semua hidup saya gagal! Tidak ada kebahagiaan! Saya benci Kamu!"

Saya masuk SMA YBPK dengan ketakutan, tidak bisa melanjutkan sekolah lagi. Tante yang mungkin juga sudah tidak menginginkan saya tinggal di rumahnya, akan menghentikan pembayaran uang sekolah saya. Namun itu tidak merubah segala kebebalan saya, meskipun dalam hati kecil sebenarnya ingin bertobat.

Suatu kali saya bertemu dengan saudara sepupu saya, Ivan. Saat itu usai ujian kenaikan kelas. Dia mengenalkan saya, bahwa ada Rumah Singgah. Dia mengantarkan saya ke sana dan bertemu dengan Tante Setyarini (Pengurus Rumah Singgah). 18 Juni 2011, undangan kepada saya untuk bergabung di sana, dan saya menyetujuinya.

Semula saya masuk Rumah Singgah, menganggapnya sebagai tempat untuk mendapatkan biaya sekolah. Faktanya tidak. Di sinilah saya bisa bertobat. Saya menemukan Kasih Tuhan. Betapa semua perjalanan hidup saya yang saya alami, mengantarkan saya menemukan arti kehidupan sebenarnya.

Kehidupan di luar sana, membuat saya memahami Tuhan memandang saya begitu berharga, serta mengangkat saya dari kejatuhan yang begitu rupa. Masa depan yang sebelumnya kabur kini mulai jelas. Saya mengikuti dengan disiplin setiap kegiatan gereja, seperti kelas SPK, PP dan Men's Camp.

Men's Camp mengubah cara pandang saya, tentang pria dan panggilannya. Tanggung jawab sebagai seorang imam, merupakan panggilan saya sebagai seorang pria. Saya bersyukur karakter saya diubahkan. Dosa-dosa yang saya lakukan selama ini, bisa tergantikan dengan kecintaan saya kepada Tuhan dan FirmanNYA. Saat Teduh, Komsel(Komunitas Sel), Coram Deo(Doa Malam) membuat kehidupan di sini terbangun dalam keintiman dengan Bapa.

Saya menemukan keluarga di sini. Teman-teman dengan masa lalu yang tidak lebih baik dari saya, telah menciptakan persaudaraan yang spesial di antara kami. Bercanda dengan cara kami sendiri, perselisihan yang kemudian kami selesaikan bersama, segala berkat yang kami terima dibagi rata.

Terima kasih banyak untuk pemimpin di sini, terutama Tante Setyarini, Kak Titik dan juga pihak gereja (GBI Kristus Pencipta). Saya bersyukur pula kepada para donatur, yang telah mendonasikan uangnya demi segala kebutuhan saya, baik uang sekolah maupun keperluan pribadi.


 




Menuliskan kisah ini, saya benar-benar menghayati apa yang dirasakan Oscar selama ini, empati saya timbul.. Saya, LilikShop, bersyukur bisa berbagi sedikit dari apa yang saya punya dengan mereka. LilikShop ada dengan satu tujuan, bisa mendanai sebanyak mungkin para remaja yang membutuhkan biaya hidup dan pendidikannya.

Nantikan kisah anak Rumah Singgah berikutnya pada bulan depan.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar